Advertisement
BanaspatiWatch.co.id || Madiun – Tradisi mudik menjelang Hari Raya Idulfitri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Tak hanya merekatkan tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekeluargaan, mudik juga menyimpan nilai sejarah serta berkontribusi besar terhadap roda perekonomian nasional, dari kalangan bawah hingga atas.
Secara etimologis, kata mudik berasal dari Bahasa Jawa, "mulih dhisik" yang berarti "pulang sebentar", atau dari Bahasa Betawi "menuju udik" yang berarti kembali ke kampung. Istilah ini telah mengakar kuat sejak zaman kolonial, ketika para perantau kembali ke kampung halaman untuk merayakan hari besar keagamaan bersama keluarga.
Seiring waktu, terutama sejak era Orde Baru, mudik menjadi fenomena sosial berskala nasional. Pemerintah bahkan secara rutin mengatur arus mudik dan balik melalui berbagai kebijakan transportasi dan infrastruktur.
Namun, lebih dari sekadar pergerakan manusia, mudik juga menjadi stimulan ekonomi tahunan.
Menurut Ketua DPP Perkumpulan Swadaya Masyarakat Banaspati Mojopahit (PSM-BM), Hari, tradisi mudik adalah momen penting yang turut menghidupkan ekonomi rakyat.
“Setiap tahun, momen mudik menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat desa. Uang dari kota mengalir ke kampung, menghidupkan UMKM, warung kecil, hingga pasar tradisional. Ini bukan sekadar pulang kampung, tetapi momentum pemerataan ekonomi yang nyata,” ujar Hari.
Ia juga menekankan bahwa mudik memiliki nilai budaya yang luhur dan selaras dengan misi PSM-BM dalam menjaga warisan sosial dan spiritual bangsa.
“Banyak pemudik yang juga menyempatkan diri berziarah ke makam leluhur, merawat situs-situs bersejarah yang selama ini kami jaga. Ini menunjukkan bahwa mudik adalah peristiwa budaya dan spiritual yang sangat dalam,” tambahnya.
Banaspati Watch menilai bahwa tradisi ini layak terus dilestarikan dengan dukungan kebijakan publik yang memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan pemerataan manfaat ekonomi di seluruh lapisan masyarakat.
Penulis: Redaksi Banaspati Watch